Purwokerto,Faktajurnal.com ---Bagi sebagian besar orang, keluarga adalah tempat pulang yang penuh kehangatan. Di sanalah seseorang belajar mencintai, memahami, dan merasa aman. Namun, bagi sebagian anak, keluarga justru bisa berubah menjadi tempat yang asing-terutama ketika rumah lama telah runtuh dan digantikan oleh rumah baru, dengan wajah-wajah baru di dalamnya.
Perceraian orang tua sering menjadi awal dari perjalanan batin yang tak mudah. Anak dipaksa beradaptasi di tengah kehidupan baru yang belum sepenuhnya bisa ia terima. Ada ayah atau ibu baru yang harus dihormati, ada adik tiri yang tiba-tiba hadir dan lebih sering mendapat perhatian. Dalam diam, anak belajar menahan perasaan: antara ingin diterima dan takut kehilangan cinta yang dulu pernah begitu utuh.
Tinggal di keluarga baru bukan sekadar soal berbagi kamar atau meja makan. Ini tentang menerima bahwa kasih sayang kini punya banyak arah. Anak mungkin terlihat baik-baik saja—tersenyum, sopan, dan berusaha akrab—tapi jauh di dalam dirinya ada rasa hampa yang sulit dijelaskan. Ia merasa hadir, tapi tidak benar-benar ada. Seolah ikut dalam cerita, tapi bukan tokoh utama di dalamnya.
Kadang, anak tidak butuh banyak hal. Ia hanya ingin diingat, dipeluk seperti dulu, atau sekadar mendengar kata, “Kamu tetap penting.” Bukan karena iba, tapi karena ia ingin yakin bahwa tempatnya di hati orang tua tidak tergantikan oleh siapapun.
Krisis ini, jika dibiarkan, bisa tumbuh menjadi dinding tebal dalam diri anak. Ia bisa jadi tertutup, sulit percaya pada orang lain, atau merasa dirinya tidak cukup berharga. Padahal, yang dibutuhkan hanyalah penerimaan tanpa syarat—rasa aman bahwa cinta orang tua tetap ada, meski keluarga telah berubah bentuk.
Tanggung jawab terbesar ada pada orang tua. Mereka harus peka, adil, dan berhati lembut. Anak dari pernikahan sebelumnya tidak seharusnya merasa menjadi “tamu” di rumah sendiri. Ia berhak mendapatkan ruang untuk tumbuh tanpa rasa tersisih.
Keluarga baru seharusnya bukan tentang siapa yang datang lebih dulu, tapi tentang bagaimana semua yang ada di dalamnya merasa diterima. Bila komunikasi berjalan jujur dan saling menghargai menjadi kebiasaan, rumah akan kembali berarti: bukan sekadar tempat tinggal, tapi tempat di mana setiap hati bisa pulang tanpa merasa kehilangan dirinya sendiri. (**).